CIREBON – Polemik distribusi hasil penjualan limbah scrap PLTU II Cirebon kembali mencuat. Presidium Organisasi Barisan Rakyat Cirebon Timur (OBOR Cirtim), Sudarto SH, menyoroti ketidakadilan dalam pembagian manfaat hasil penjualan limbah, terutama terhadap desa-desa yang secara geografis berada paling dekat dan terdampak langsung oleh aktivitas PLTU II.
“Desa Astanamukti dan Desa Pangarengan di Kecamatan Pangenan itu sangat dekat dengan PLTU II, bahkan berbatasan langsung. Tapi mereka tidak pernah dilibatkan atau mendapat bagian yang layak. Lalu, uang hasil limbah scrap PLTU itu sebenarnya untuk masyarakat yang mana?” tegas Sudarto, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, narasi bahwa dana hasil limbah diperuntukkan bagi masyarakat desa terdampak hanya slogan kosong. Ia menilai bahwa selama ini distribusi hanya terfokus pada beberapa desa tertentu seperti Kanci, Kanci Kulon, dan Werduwur. Sementara desa yang justru berada di sisi langsung PLTU II seperti Astanamukti, tidak tersentuh.
“Desa Citemu dan Bandengan yang jaraknya cukup jauh dari PLTU II malah dilibatkan, sedangkan Astanamukti yang lokasinya persis di samping, justru tidak mendapat perhatian,” ujarnya.
Sudarto memastikan bahwa OBOR Cirtim bersama warga dari Astanamukti dan Pangarengan akan menggelar aksi damai ke sejumlah titik, termasuk ke PLTU II, Kantor Bupati, dan Gedung DPRD Kabupaten Cirebon.
“Insyallah aksi ini akan kami lakukan secara tertib dan kondusif. Kami hanya menuntut keadilan,” pungkasnya.
Sementara itu, presidium lainnya, Moh. Aan Anwaruddin, juga menyoroti dugaan penyimpangan dana dari hasil penjualan limbah. Ia mengungkapkan bahwa sebagian besar dana justru tidak sampai ke masyarakat desa terdampak.
“Benar, selama ini dana dari penjualan limbah lebih banyak menguap. Contohnya, pada penjualan terakhir bulan Desember 2024, dari total lebih dari Rp2 miliar, hanya sekitar Rp1,44 miliar yang sampai ke desa. Sisanya, sekitar 600 hingga 800 juta rupiah, tidak jelas ke mana,” kata Aan.
Ia juga menyoroti adanya indikasi pola korupsi seperti yang terjadi dalam kasus Hyundai di masa lalu.
“Kita tahu sejarah Hyundai pernah menyuap Bupati Sunjaya. Dan sekarang, dalam proses lelang limbah tahun 2025, dugaan pola itu seperti terulang. Bahkan lelang kali ini kami nilai sebagai yang paling buruk dan tertutup selama ini,” jelasnya.
Menurutnya, berdasarkan informasi yang dihimpun OBOR Cirtim, nilai lelang limbah PLTU II tahun ini diperkirakan mencapai sedikitnya Rp7 miliar, angka yang bahkan melebihi nominal suap dalam kasus Sunjaya yang mencapai Rp6,5 miliar.
“Puluhan truk tronton sudah terlihat mengangkut limbah keluar dari lokasi. Ini menunjukkan bahwa PLTU tidak punya itikad baik terhadap masyarakat sekitar,” tegas Aan.
Atas kondisi tersebut, Aan menyatakan bahwa masyarakat dari tujuh desa bersama sejumlah organisasi akan melakukan aksi unjuk rasa pada Senin mendatang di depan PLTU, dengan tuntutan utama agar Hyundai segera angkat kaki dari Cirebon.
Tak hanya itu, OBOR Cirtim juga akan mengirimkan surat resmi ke Hyundai Pusat dan Kejaksaan Korea Selatan guna meminta investigasi atas dugaan praktik suap dalam proyek limbah di Cirebon.
“Surat pertama terkait kasus suap Sunjaya tahun 2023 sudah kami kirimkan ke Kejaksaan Korea Selatan, dengan bantuan NGO lingkungan dan anti-korupsi di sana. Surat berikutnya akan menyusul,” tutup Aan.