CIREBON — Pemerintah Kabupaten Cirebon terus menggenjot pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan. Salah satunya melalui pekerjaan pemeliharaan berkala Jalan Karangmangu–Nagrak yang saat ini tengah dikerjakan.
Namun, proyek dengan pagu anggaran sebesar Rp292 juta itu mendapat sorotan dari sejumlah pihak, terutama terkait pengawasan pelaksanaan di lapangan. Berdasarkan pantauan awak media di lokasi, tidak terlihat adanya pengawasan langsung dari dinas terkait saat kegiatan berlangsung.
Proyek tersebut diketahui dilaksanakan oleh CV. Nida Yulia Ariatama, dengan volume pekerjaan panjang 331 meter dan lebar 2,5–4 meter.
Aktivis Cirebon Timur, Agus Ebit, menilai bahwa proyek ini harus dikerjakan sesuai dengan spesifikasi teknis dan Rencana Anggaran Biaya (RAB).
“Kami akan terus mengawal proyek ini, karena masyarakatlah yang akan merasakan manfaatnya. Jangan sampai pihak pelaksana bekerja asal-asalan tanpa memperhatikan kualitas,” tegas Agus, Rabu (29/10/2025).
Ia juga mengungkapkan adanya temuan di lapangan bahwa pihak CV. Nida Yulia Ariatama diduga mensubkontrakkan pekerjaan kepada pihak lain, yang kabarnya merupakan warga sekitar lokasi proyek.
“Informasi yang kami dapat, pekerjaan diserahkan kepada warga setempat. Kalau benar begitu, tentu perlu dipertanyakan: apakah sesuai dengan aturan pengadaan dan kontrak kerja yang berlaku? Jangan sampai ada permainan yang merugikan kualitas pembangunan,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Cirebon belum memberikan keterangan resmi terkait mekanisme pengawasan dan pelaksanaan proyek tersebut.
Pembangunan infrastruktur jalan adalah wajah paling nyata dari pelayanan publik. Di banyak daerah, jalan menjadi indikator langsung keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat. Karena itu, transparansi, kualitas, dan pengawasan proyek menjadi hal yang tidak bisa ditawar.
Kasus di Jalan Karangmangu–Nagrak ini membuka kembali pertanyaan klasik: sejauh mana pengawasan pemerintah daerah benar-benar dijalankan? Proyek dengan nilai ratusan juta rupiah mungkin tampak kecil di atas kertas, namun bagi masyarakat sekitar, itu sangat berarti — bisa memudahkan mobilitas, menekan biaya transportasi, dan meningkatkan ekonomi lokal.
Namun, ketika pengawasan absen dan pelaksana proyek diduga mensubkontrakkan pekerjaan tanpa kejelasan, maka potensi penurunan kualitas pekerjaan pun membayangi. Dalam konteks ini, peran masyarakat dan aktivis pengawasan sosial menjadi krusial.
Pemerintah daerah seharusnya menyambut baik kritik dan pantauan warga, bukan menganggapnya sebagai gangguan. Sebab, proyek publik sejatinya dibiayai dari uang rakyat — dan karena itu pula rakyat berhak tahu dan menilai hasilnya.
Masyarakat kini menuntut bukan hanya jalan yang mulus, tetapi juga proses yang bersih dan transparan.
Karena pada akhirnya, setiap ruas jalan adalah cerminan dari integritas dan akuntabilitas pemerintah daerah itu sendiri.



















